Sabtu, 22 Maret 2014



Islam dan Pemilu

Izhar Ilyas


Menurut ketatanegaraan kita, Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, merupakan mekanisme untuk memilih “pemimpin” dalam pemerintahan negara, baik legislatif atau eksekutif. Sepanjang sejarah pelaksanaannya, terlebih sejak rezim Orde Baru sampai sekarang, umat Islam secara sistemis telah tidak henti jadi sasaran pembodohan dan penyesatan yang bermuara ke pembusukan terhadap Islam. Pembodohan, penyesatan dan pembusukan terhadap Islam tersebut dalam Pemilu 2004 lalu, dengan diterbitkannya sebuah buku kecil berjudul “Islam dan Pemilu – Panduan Menghadapi Pemilu 2004” terlihat benar-benar telah dilakukan dengan sangat dan amat sempurna.

Menghadapi Pemilu 2014, bukan tidak mungkin buku serupa diterbitkan kembali dan atau setidaknya dijadikan refrensi oleh berbagai pihak untuk memuaskan libido politik mereka. Menyikapi berbagai kemungkinan itu, tulisan ini penulis susun dan kepada Saudaraku se’aqidah ia kupersembahkan.


Tidak kepalang tanggung, buku kecil setebal 16 halaman tersebut ditulis oleh empat orang penulis, mereka adalah Hairus Salim HS, Mukhotib MD, Nur Khalik Ridwan dan Umaruddin Masdar. Buku dimaksud kemudian diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Kajian islam dan Sosial (LkiS) bekerjasama dengan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan didukung oleh The Asia Foundation.

Selaku penerbit, dari rasa berbahasa, LKiS terlihat benar-benar telah meremeh-temehkan Islam. Dikatakan demikian, karena dalam menulis kependekan atau kepanjangan LKiS, semua huruf awal ditulis dengan huruf besar, kecuali huruf i untuk kata Islam ditulis dengan huruf kecil. Padahal dari kaidah berbahasa, hal tersebut jelas merupakan sebuah kesalahan yang tidak kecil.

Sementara itu, agar buku panduan tersebut sampai ke alamat (baca: umat Islam), The Asia Foundation selaku penyandang dana, turut kemudian memainkan perannya. Berbicara persoalan dana mendanai ini, The Asia Foundation selama ini diketahui sangat intens menunjang berbagai kegiatan Islam Liberal (baca: Islam Liar, meminjam istilah Adnin Armas, MA dalam bukunya Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal, Gema Insani, 2003) di Indonesia.

Sebagai buku panduan, sepintas buku tersebut tidak mengandung masalah, terlebih karena JPPR yang bermarkas di Jalan Jeruk No. 6 Menteng Jakarta Pusat, berhasil menjaring Muhammadiyah dan NU dua organisasi umat Islam terbesar di Indonesia saat ini masuk ke dalam 30 organisasi sebagai anggota jaringan. Namun setelah disigi, ternyata dugaan tersebut keliru. Sebab, ditilik dari ajaran Islam buku dimaksud benar-benar telah sangat merusak dan menodai Islam.

Metode penyajian buku panduan tersebut dilakukan dalam bentuk tanya jawab. Setidaknya terdapat 17 item yang diapungkan di dalamnya, mulai dari makna Pemilu dan ditutup dengan apa yang harus dilakukan setelah Pemilu.

Pada halaman 4, setelah mempertanyakan: Apa dasar Memilih partai, umat Islam langsung diindoktrinasi: “Nah, jangan bingung! Karena prinsip pemilu adalah kebebasan, kita boleh memilih partai apa pun yang kita suka. Sekarang tidak ada lagi ‘paksaan politik’ (dari penguasa) atau ‘hukum wajib’ (dari agama [wan]) seperti waktu-waktu dulu agar kita mencoblos partai tertentu.

Jika tidak, kita katanya akan ‘dipenjara’ atau ‘masuk neraka’. O, tidak. Pemilu ini urusan dunia, dan kita mesti mengetahui urusan dunia kita. Antum a’lamu biumuri dunyakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu [HR. Muslim]. Begitu keempat pengarang untuk menjauhkan umat dari tuntunan Islam sesuai misi buku yang mereka tulis, licik beretorika.

Alur berpikir seperti itu, terlebih dengan telah tidak dijelaskannya tentang esensi partai politik, benar-benar telah sangat menyesatkan umat. Sebab, di mana dan kapan pun, partai politik adalah merupakan sarana perjuangan untuk menerapkan ideologi politik yang dianut para anggotanya melalui institusi yang disebut negara.

Justru demikian, keberadaan dan peranan partai politik tidak sesederhana yang mereka singgung, seakan-akan partai politik hanya berkutat seputar menangani persoalan korupsi, pengangguran, banjir, gagal panen dan sebagainya.

Merujuk Al Qur’an, dalam konteks keimanan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan; beriman, kafir dan munafik. Terkait demikian, perbuatan dan atau tingkah laku masing-masing mereka dalam berpolitik dipastikan akan sangat ditentukan oleh apa yang menjadi keyakinan mereka.

Dikaithubungkan dengan keniscayaan berpartai, masing-masing mereka dipastikan tidak akan pernah separtai, kecuali untuk sebuah taktik atau kepura-puraan. Sebab, terlebih ditilik dari ajaran Islam, Allah SWT telah mengingatkan, artinya: “Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman dengan Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulNya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya.” (QS Al Mujadalah: 22).

Menurut perspektif Islam, dalam konteks “iman”, keniscayaan demikian bukan tanpa alasan. Sebab, dalam berbagai firmanNya Allah SWT telah mengingatkan bahwa para penentang Allah dan Rasul itu, kapan dan di mana saja, tidak akan pernah berhenti untuk menghabisi keimanan orang-orang beriman. Secara eksplisit hal tersebut dijelaskan dalam berbagai firmanNya, antara lain:

1.  Al baqarah, ayat 120: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.”

2.     Fushilat, ayat 26: “Dan orang-orang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (baca-an) Al Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat  mengalahkan mereka.”

3.     At Taubah, ayat 32: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka.” Ayat senada juga difirmankan dalam Surat Ash-Shaf ayat 8.

Dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia, berbagai hal yang telah menimpa umat Islam dari masa ke waktu, telah cukup menjadi bukti tentang kebenaran firman-firman Allah di atas.

Terpenting dan terpahit di antara semua itu untuk disebut dalam kesempatan ini adalah pencoretan tujuh kata setelah kata Ketuhan dari Piagam Jakarta, yaitu; dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, sehari setelah Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Luar biasa hebat retorika politik yang dipergunakan kaum salibis untuk terpenuhinya pencoretan ketujuh kata tersebut pada waktu itu.

Selanjutnya, masih di halaman 4, kepada umat kembali disuguhkan pertanyaan; Bagaimana Kriteria Seorang Pemimpin? 

Mengutip Imam Al-Mawardi dalam kitabnya “al-Ahkam as-Sulthaniyah”, umat Islam kemudian diyakinkan bahwa ada lima kriteria seorang pemimpin, yakni: adil dan jujur, berpengetahuan, sehat wal’afiat, arif dalam bertindak, tegas dan berani. Kriteria tersebut kemudian mereka lengkapi dengan mengemukakan, bahwa seorang pemimpin harus mampu mengedepankan kepentingan umum dan memiliki kualitas moral yang baik.

Sebatas itu tidak ada masalah. Namun, masalah kemudian menganga-menjurang setelah kepada umat dilontarkan sebuah pertanyaan menjerat: “Tapi, bagaimana kalau calon pemimpin itu non muslim? Pertanyaan tersebut langsung mereka jawab: Wah, pusing juga ya. Tapi yang penting utamakan dulu deh kriteria di atas. (bold dan italic, penulis)

Tidak sulit untuk ditebak, di balik arahan jawaban semacam itu mereka berkeinginnan agar umat Islam tidak perlu mempermasalahkan keberagamaan sang calon pemimpin. Menurut mereka, muslim atau non muslim, bukan merupakan sesuatu yang harus dipersoalkan. Padahal akibat dari melakukan hal demikian, dampaknya akan sangat fatal bagi yang memperbuatnya.

Di hadapan Allah SWT seseorang yang mengerjakan hal semacam itu akan dicap sebagai munafik. Sebab demikian tertulis dalam firmanNya, artinya: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan  di sisi orang kafir itu. Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah.” (QS An Nisa: 138 – 139).

Justru itu, agar kita orang-orang mukmin tidak sampai disesatkan dalam berpemilu, sebagaimana telah dilakukan ke empat pengarang melalui buku panduan ini, maka mari kita benar-benar memperhatikan berbagai firman Allah SWT berikut:

1.  Surat An Nisa’, ayat 144: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menghukummu)?”

2.  Ali ‘Imran, ayat 118: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu megerti”.

3.  Al Maidah, ayat 51: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.”

4.  Al Maidah, ayat 57: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberikan kitab sebelummu, dan orang-orang kafir (orang musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.”

5.   At Taubah, ayat 23: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai pelindung, jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pelindung, maka mereka itu orang-orang yang zalim.”

Begitulah, Allah SWT melalui berbagai firmanNya di atas telah mengingatkan kita para hambaNya, bahwa Pemilu 2014 yang tidak lama lagi akan digelar, sejatinya adalah sesuatu yang sangat strategis dan mempunyai arti penting dalam hidup dan kehidupan kita di dunia sekarang dan di akhirat kelak kemudian hari.

Sebab, bukankah kita tidak henti-hentinya berdo’a kepadaNya: “Rabbanaa aatina fiddunya hasaanataw wa fil akhirati hasanataw wa qinaa ‘azaabannaar.” Lalu, bagaimana mungkin do’a kita akan diijabah, bila sementara dalam “berpemilu” kita tidak meindahkan berbagai firmanNya itu. Na’uzubillaahi minzaalik.
-------------
 *Guru SMAN 1 Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Sumbar
** Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah Jakarta, Edisi No. 05/XI Jumadil Awal 1435 H - Maret  2014 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar