Oleh Izhar Ilyas
KONTROVERSI seputar Ahmadiyah, dengan terbitnya Rekomendasi Bakor Pakem yang memutuskan, bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melakukan kegiatan atau penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam serta menimbulkan keresahan dan pertentangan dalam masyarakat dan berpotensi mengganggu ketertiban umum, kembali menghangat.
Menyikapi keputusan Bakor Pakem itu, Ahmadiyah terlihat bergeming, malah seperti diberitakan harian Singgalang Padang, Kamis (17/4), mereka akan melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Tidak tanggung-tanggung, mereka akan melaporkan kasus yang mereka alami ke Dewan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Sementara dari kalangan umat Islam, terlihat menyambut hangat rekomendasi tersebut, namun juga tidak kurang ada yang menolak.
Mengutip persda network, Rabu (16/4), menurut Singgalang, Juru Bicara Ahmadiyah, Ahmad Mubarik tegas membantah bahwa: “Kalau kami dikatakan tidak mempercayai Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir, itu bohong. Dusta. Tidak pernah dalam keyakinan kita sejak 100 tahun lalu menyatakan Mirza Ghulam Ahmad pengganti Nabi Muhammad SAW. Tidak ada syari’at baru lagi karena sudah sempurna.”
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah yang dikemukakan Ahmad Mubarik itu dan atau 12 Butir Penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang sebelumnya gencar dipublikasikan kepada masyarakat, merupakan esensi keyakinan dan amalan penganut Ahmadiyah yang di dalamnya bersih dari kebohongan atau pembohongan.
Sebab, pada konteks syahadatain, kendati secara kasat mata diakui, Ahmadiyah tidak menolaknya, malah menempatkan unsur itu pada bagian pertama dari 12 Butir Penjelasan Ahmadiyah. Namun secara esensi, pemahaman mereka tentang syahadatain terindikasi telah sangat menyimpang dari aqidah Islam. Hal tersebut dikarenakan, Allah SWT yang dinyatakan dalam syahadatain itu, menurut kepercayaan Ahmadiyah telah diserupakan dengan gurita.
Kepercayaan Ahmadiyah seperti dikemukakan di atas, dijelaskan Dr. Ihsan Ilahi Zhahir dalam bukunya Al-Qadiyaniyah Dirasat wa Tahlil, berdasarkan tulisan Ghulam Al-Qadiyani, seorang pentolan Ahmadiyah lewat bukunya Taudhih Al-Maram, pada halaman 75, Ghulam menulis: “Kami bisa memastikan bahwa untuk menggambarkan bahwa wujud Allah itu memiliki banyak tangan dan kaki. Anggota badannya itu sangat banyak hingga tak terhitung dan dalam ukuran besar yang tak terbatas panjang dan lebarnya. Seperti gurita yang memiliki cabang yang sangat banyak yang membentang ke seluruh alam dan sisi-sisinya”.
Bila tentang Allah saja Ahmadiyah berani berkata seenak pemikiran, apa lagi mengenai RasulNya, KitabNya dan berbagai rukun iman lainnya. Lebih lanjut, mari kita lihat pula beberapa pernyataan Mirza Ghulam Ahmad, tentang hubungannya dengan Allah SWT. Terkait demikian, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir mengutip Ghulam Al-Qadiyani dari beberapa sumber Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad berkata: “Allah berbicara kepadaku dengan mengatakan, ‘Dengarlah wahai anakKu.” Dan atau ia berujar, “Rabb telah berkata kepadaku, ‘Engkau adalah dariKu dan Aku adalah darimu, punggungmu adalah punggungKu.” Dan atau ia bercerita, “Sungguh Allah telah turun kepadaku dan aku menjadi perantara antara DzatNya dengan semua makhluk.” dan sebagainya.
Menurut Aqidah Islam, terkait keimanan kepada Allah SWT, tidak satupun yang serupa atau menyerupai Allah. Kepercayaan tentang Allah seperti itu didasarkan kepada berbagai ayat Al Quran, antara lain Surat Asy-Syura, ayat 11, Allah SWT berfirman, artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Sementara dalam Surat Al Ikhlas ayat 4 Allah terlihat pula berfirman, artinya: “Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.”
Dari kenyataan demikian, masihkah Mirza Ghulam Ahmad seperti dijelaskan dalam 12 Butir Penjelasan Ahmadiyah itu, dianggap sebagai seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengembangan mubasysyirat, dan atau tepatkahkah bila ia dan jemaat yang dibentuknya dijuluki sebagai orang atau sesuatu yang memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Jawabnya, “tidak!”
Menguak lebih jauh misteri kesesatan Ahmadiyah ditilik dari aqidah dan ajaran Islam, Ahmad Hariadi mantan penyebar Ahmadiyah, dalam bukunya “Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiani” menulis, bahwa seseorang yang akan menjadi anggota Ahmadiyah terlebih dahulu harus dibai’at. Bai’at tersebut ditujukan kepada pimpinan Qadiani yang disebut Khalifatul Masih.
Di dalam bai’at, setelah yang akan berbai’at mengisi formulir bai’at, kemudian ia disuruh membaca kalimat syahadat, disuruh mengakui dosa-dosa yang telah dibuatnya dan bertobat kepada Allah. Sebatas itu, terlihat tidak ada masalah, namun disinilah kemudian punca tumbuhnya masalah.
Sesudah bai’at dilakukan, yang berbai’at kemudian disuruh mengimani segala da’wah yang telah disampaikan Mirza Ghulam Ahmad, baik dia mengaku sebagai Nabi, Rasul, Mahdi, Nabi Isa kedua, Krisna, Budha, Zoroaster dan sebagainya.
Kemudian, Ahmadi pendamping prosesi pembai’atan berpesan, agar orang yang telah berbai’at itu, sekali-kali tidak boleh shalat bermakmum di belakang imam yang bukan Qadiani atau Ahmadiyah. Selain itu ia juga dilarang kawin atau menikah dengan orang bukan Qadiani. Di sini kebencian kepada umat Islam secara licik mulai mereka sisipkan. Sebab menurut aqidah Ahmadiyah: “Siapa saja yang tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Zaman, Imam Mahdi dan Rasul Allah, maka orang itu adalah kafir dan matinya mati jahiliyah.”
Dari beberapa penjelasan diatas terang terbukti, bahwa tidak ada kesesuaian kebenaran antara apa yang disampaikan Ahmad Mubarik serta 12 Butir Penjelasan Ahmadiyah dengan berbagai keyakinan dan amalan yang terjadi dalam Ahmadiyah.
Justru itu, dalam konteks ajaran Islam dikaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, sangat tepat dan amat beralasan bila Bakor Pakem seputar kontroversi mengenai Ahmadiyah, akhirnya merekomendasi bahwa Ahmadiyah sesungguhnya telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, serta menimbulkan keresahan dan pertentangan dalam masyarakat.
Bila hal tersebut tidak disikapi secara arif dan bijak oleh pemerintah, dipastikan akan sangat berpotensi mengganggu ketertiban umum. Pada konteks demikian, kiranya pemerintah diharapkan mampu membuat rambut tidak putus dan tepungpun tidak terserak. Semoga.
[Dimuat di Rubrik Munazharah, Majalah Tabligh, MTDK PP Muhammkadiyah Jakarta, Juni 2008, hal. 50 – 51]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar