Kamis, 22 Desember 2011

Konglomerasi Media di Ring Politik

Oleh Herry Gunawan | Newsroom Blog – 16 jam yang lalu
Gebrakan Chairul Tanjung (pemilik Trans TV dan Trans 7) yang membeli portal berita detik.com membuat pergerakan konglomerasi media di Indonesia makin riuh dan riang. Ia tampaknya ingin bergegas memiliki jaringan media yang lengkap.

Saat ini tinggal media cetak yang belum dimiliki — meski ada kabar, ia sudah mengantongi lisensi terbit majalah asing terkemuka .

Gempita aksi Chairul Tanjung sedikit menutupi ekspansi pengusaha asal Israel ke Indonesia melalui MNC. Dia adalah Haim Saban, pemilik Saban Capital Group Inc.

Haim Saban membeli 5 persen saham Media Nusantara Citra milik Hary Tanoesoedibjo, melalui Indonesia Media Partner LLC seharga hampir Rp 700 miliar. Perusahaan ini terafiliasi dengan Saban Capital Group Inc. dan PT Global Mediacom Tbk. Dalam perjanjian, masih ada opsi jatah pembelian lagi sebesar 2,5 persen.


Tentu tak ada yang dilanggar dalam transaksi ini. Aturan Daftar Negatif Investasi yang dikeluarkan pemerintah tahun lalu, memberikan pengecualian jika transaksi saham dilakukan di pasar modal, walaupun terhadap perusahaan yang tertutup bagi investor asing.

Sebagai pemain di industri media, Saban sempat membangun Fox Kid’s Network, berkongsi dengan Rupert Murdoch, konglomerat media berbendera News Corp. Murdoch sendiri pernah masuk ke Indonesia dengan membentuk usaha patungan bersama kelompok usaha Bakrie untuk mengelola ANTV.

Terlepas dari soal kepemilikan ini, ada langkah kemiripan antara Saban dengan Hary Tanoe. Saban yang pernah bekerja di Badan Pertahanan Israel, dikenal sebagai pengusaha yang lekat dengan dunia politik, seperti menjadi penyokong Bill Clinton. Dan secara kebetulan, Hary Tanoe merupakan pengusaha yang baru terjun ke dunia politik, bergabung bersama Surya Paloh di Partai Nasdem.

Kolaborasi media Surya Paloh (Media Indonesia dan Metro TV) dengan kelompok Hary Tanoe (RCTI, Global TV, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio, serta sejumlah jaringan media lokal) tentu akan berada di belakang Partai Nasdem.

Selain duet Hary Tanoe-Surya Paloh, ada pula Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Pemilik kelompok usaha Bakrie and Brothers ini memiliki TV One, ANTV, Vivanews.com.
Tentu Aburizal tidak sendiri. Ada Erick Thohir, yang memimpin PT Visi Media Asia, induk perusahaan media Bakrie.

Sementara Erick, adik kandung Boy Garibaldi Thohir — salah satu pemilik perusahaan pertambangan Adaro — adalah pemilik Jak-TV dan kelompok usaha Mahaka: di antaranya mengelola Republika dan jaringan radio Prambors.

Di mana posisi Chairul Tanjung? Pemilik CT Corp yang mengelola stasiun televisi Trans TV, Trans 7, dan Detik.com ini, secara resmi tidak terafiliasi dengan politik. Namun jauh-jauh hari, Partai Keadilan Sejahtera sudah menjagokannya sebagai calon presiden 2014, berpasangan dengan Menko Polhukam Djoko Suyanto.

Selain itu, kedekatan Chairul dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sulit diabaikan.

Kemudian ada Kelompok Jawa Pos, pemiliki koran Jawa Pos dan Rakyat Merdeka. Jaringannya di daerah-daerah juga cukup kuat, dengan merek Radar. Kelompok media ini didirikan dan dimiliki oleh PT Grafiti Pers, yang juga pendiri Tempo, setelah diambil-alih dari pemilik sebelumnya.

Pemilu silam, kelompok Jawa Pos yang dikelola dan dibesarkan oleh Dahlan Iskan, kini Menteri Negara BUMN, dikabarkan berada di belakang barisan Susilo Bambang Yudhoyono. Entah kelak.

Tinggal Kelompok Tempo dan Kompas. Dua kelompok besar ini bisa jadi bola liar. Secara formal sulit mendefinisikan kedekatan politiknya. Namun akan terlihat menjelang pemilihan umum kelak, kemana arah pendulum dua media ini bergerak. Itulah pilihan yang ditempuh.

Apa yang perlu dikhawatirkan dengan kolaborasi penguasa media dengan partai politik? Sudah tentu, informasi yang lahir dari media tersebut cenderung bias. Pembodohan publik bisa terjadi melalui media yang sudah tidak lagi berpihak pada warga lantaran harus melindungi kepentingan politik pemilik atau pengelolanya.

Dalam kondisi seperti ini, media sudah kehilangan esensi dan akal sehatnya untuk melakukan kontrol sosial. Apalagi harus menjadi pilar demokrasi. Sesuatu yang sangat naïf jika media yang dimiliki politisi masih mengatakan bisa independen dan bebas dari intervensi pemilik.

Karena itu, sebagai konsumen informasi, kita ambil mudahnya saja. Ketika sebuah media terafiliasi memberitakan figur atau kegiatan kelompok politiknya, tinggal didiskon sebesar 99 persen. Begitu juga ketika yang dibombardir adalah lawan politiknya, kecuali sepanjang yang diungkat sebatas fakta tanpa embel-embel opini.

Herry Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar