Oleh Izhar Ilyas
Di Republik Indonesia, diakui terdapat enam agama yang dianut warga negara, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu. Masing-masing agama mempunyai keyakinan dan pengamalan berbeda. Perbedaan tersebut untuk kerukunan antar umat beragama kemudian direkomendasi dalam UUD 1945, Bab IX, Pasal 29, ayat (2) bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ditilik dari ajaran Islam, esensi kemerdekaan dan kebebasan beragama seperti disinggung di atas telah dikumandangkan 15 abad yang lalu. Dalam Surat Al Kafirun Allah SWT berfirman, artinya: “Katakanlah,’Wahai orang-orang kafir!’ aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak (pernah) menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Menurut Islam, keberagamaan seseorang sepenuhnya diserahkan kepada dirinya. Hal tersebut tegas difirmankan dalam Al Baqarah ayat 256, artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut (berhala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, rekomendasi konstitusi di atas, jelas dimaksudkan agar di republik ini jangan sampai terjadi ketidak rukunan hidup antarumat beragama. Justru itu, negara mewanti-wanti setiap warga negara untuk tidak mempermasalahkan keberagamaan seseorang sepanjang yang bersangkutan meyakini dan beramal sesuai ajaran agama yang dianutnya.
Terkait Perayaan Natal yang akan dirayakan Saudara-saudara kita umat kristiani, dalam konteks kerukunan hidup antarumat beragama itu tadi, seyogianya masing-masing umat, baik Islam atau Kristen diharapkan konsisten berada pada jalur keyakinan atau ajaran agama masing-masing. Dalam hubungan ini satu sama lain tidak boleh saling menuntut berkenaan dengan perayaan tersebut.
Apalagi, bila akibat tuntutan tersebut tidak terpenuhi, lalu sampai ada tudingan kepada pihak lain sebagai tidak bertoleransi. Bila ini terjadi, secara tidak langsung, hal demikian telah mengusik substansi konstitusi yang telah disepakati. Karenanya sikap arif para tokoh masing-masing agama sangat dituntut untuk terbangunnya kerukunan tersebut.
Dalam perayaan natal, terkait ketokohan Yesus Kristus yang dalam Islam disebut Isa as, disorot dari sudut keyakinan kedua ajaran, terdapat perbedaan mendasar yang sangat bertolak belakang. Perbedaannya ibarat malam dengan siang. Ditinjau dari hakekat kebenaran tak ayal sejak dulu ia telah menjadi persengketaan keyakinan. Menyikapi persengketaan keyakinan itu kepada umat Islam diajarkan agar senantiasa berpegang kepada prinsip; “tidak ada paksaan dalam beragama, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Bila demikian ihwalnya, fokus kepada perayaan natal, dalam Surat An Nisa’ ayat 140 Allah SWT berfirman, artinya: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepadamu di dalam kitab Al Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki dalam pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya jika demikian, kamu tentu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir semuanya dalam neraka jahanam.”
Dari sudut keyakinan, jujur diakui umat Islam tidak akan bersukacita terhadap perayaan tersebut. Namun, bukan berarti umat Islam harus membikin onar dengan meledakkan bom atau lain sebagainya. Merujuk kepada firman Allah di atas umat Islam cukup melakukan satu hal saja, yaitu: “Jangan duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.” Just itu. Hanya itu.
Dari sudut ajaran Islam, bila seseorang duduk juga di sana, apalagi kalau sampai mengucapkan selamat, maka di saat itu Allah SWT telah menyamakan dirinya dengan mereka, innakum izam mitsluhum. Karena bukankah dari sudut logika berpikir kehadiran dan memberi ucapan selamat itu semakna dengan membenarkan keyakinan yang seharusnya tidak boleh diyakininya.
Memahami firman Allah pada ayat di atas, hal demikian jelas akan sangat berakibat buruk bagi dirinya. Jadi terkait dengan itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara bukankah konstitusi telah melegitimasi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Merujuk amar UUD 1945 di atas, agar tercipta kerukunan hidup antar umat beragama, terkait dengan perayataan natal tahun ini, jangan kita ulangi lagi kesalahan-keslahan masa lalu dengan menyalah artikan makna toleransi kehidupan antar umat beragama dalam bentuk saling merayakan atau setidaknya saling mengucapkan selamat pada hari raya setiap agama.
Bagi agama di luar Islam mungkin hal itu tidak menjadi masalah, namun tidak demikian halnya dengan Islam. Terkait hal tersebut dalam Islam hanya ada satu frase: Lakum diinukum waliyadinn. Lalu untuk sebuah kerukunan, mari kita saling memahami esensi keyakinan agama masing-masing untuk kemudian saling bertoleransi terhadapnya. Hanya dengan itu, “rambut tidak putus, tepung tidak berserak.” Semoga.
[Dimuat di Rubrik Komentar Harian Singgalang, Jum’at, 23 Desember 2005 ▪ 21 Zulqaidah 1426 H]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar